Rabu, Januari 14, 2009

SEMUT-SEMUT MERAH

Setiap kali pulang dari sekolah, Adri selalu bermain dengan teman-temannya di bawah pohon beringin yang rindang. Kadang mereka bermain kelereng dan kadang pula bermain petak umpet. Tak jarang pula mereka belajar bersama di tempat itu. Hawa yang nyaman dan angin yang semilir, membuat mereka betah berkumpul di tempat itu.
"Hei, teman-teman! Lihatlah ada yang unik di pohon beringin ini!" Teriak Adri menarik perhatian teman-temannya. "Ada apa?" tanya Ferdi penasaran. "Apanya yang unik?" tambah Deni dari belakang. "Lihatlah ada banyak semut merah yang berbaris di batang pohon. Awas! jangan sampai kita mengganggu mereka! Nanti mereka bisa menggigit. Kata ibu, gigitan semut merah sangat sakit! Lihatlah! Semut-semut itu selalu berbaris dengan rapi, berderet-deret dan merangkak dari akar pohon menuju puncaknya. Ada juga yang merangkak dari puncak menuju akar pohon. Setiap kali mereka berpapasan dengan sesama semut, mereka pun saling bersalaman satu sama lain, seolah mereka adalah saudara sekerabat," kata Adri panjang lebar. "Iya. Kata pak guru juga, kita tidak boleh mengganggu makhluk lain, meskipun itu hanya seekor semut yang kecil," kata Ferdi menirukan penjelasan pak guru di kelas. "Aku juga masih ingat saat pak guru bercerita tentang Nabi Sulaiman dan pasukannya yang hendak melewati segerombol semut. Nabi Sulaiman memerintahkan agar semut-semut masuk ke lubang tanah, supaya tidak terinjak oleh sepatu pasukan Nabi Sulaiman," tambah Deni yang sejak tadi hanya diam memperhatikan barisan semut-semut merah itu.
"Oh, ya. Ayahku pernah cerita tentang semut-semut merah. Apa kalian mau dengar, jika kuceritakan lagi?" tanya Adri kemudian sambil mengingat-ingat cerita ayahnya. "Iya…iya!" jawab Ferdi dan Deni serempak.
"Begini ceritanya…pada zaman dahulu ada segerombol semut merah yang hidup di bawah lubang pohon yang sempit. Pohon itu bercabang banyak dan berdaun lebat. Suatu hari semut-semut itu hendak mencari makanan untuk kebutuhan hidup mereka. Lalu mereka pun saling merayap dan bekerja sama mengangkut potongan kecil buah-buahan yang ada di atas pohon. Sedikit demi sedikit potongan buah-buahan itu mereka bawa menuju lubang pohon tempat mereka berteduh, sampai akhirnya menumpuk hingga hampir menutup lubang. Setelah rumah mereka penuh dengan persediaan makanan, mereka pun beristirahat. Mereka berpikir bahwa persediaan makanan itu akan dapat mencukupi kehidupan mereka selama musim kemarau, saat tak ada lagi pohon yang berbuah. Dengan demikian mereka dapat merasa nyaman dan tidak khawatir akan kehabisan makanan.
Akan tetapi suatu hari terjadi sebuah bencana. Di hutan, tempat tumbuh pohon yang menjadi rumah semut-semut merah itu, tersebar berita bahwa seekor singa telah mengamuk, dan memangsa hampir semua penghuni hutan. Bahkan juga menumbangkan pohon-pohon besar. Singa itu menjadi sombong dengan kekuatannya dan merasa dirinya sebagai raja hutan yang tak tertandingi. Seketika hutan itupun menjadi tempat yang sangat mengerikan bagi hewan-hewan kecil yang lain, tak terkecuali dengan semut-semut merah. Mereka selalu berdoa agar Singa itu tak membunuh mereka, dan merusak rumah, serta menghancurkan persediaan makanan mereka.
Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Singa pun datang ke tempat semut-semut merah. Ia meraung-raung di bawah pohon seraya menunjukkan taring-taringnya yang tajam. Setelah melihat ada segerombol semut merah di lubang pohon, Singa itu pun berkata dengan seram, "Hei, semut! Apa yang kaulakukan di dalam lubang yang sempit itu?" Semut-semut menjadi takut dan khawatir, bila singa akan menginjak-injak mereka dan merobohkan rumahnya. "Kami berteduh dari sengatan panas matahari dan menyimpan banyak makanan di lubang ini. Bila musim kemarau tiba, kami tidak khawatir lagi akan kehabisan makanan," jawab Semut tak berani berbohong. Mendengar perkataan semut-semut itu, Singa pun menjadi penasaran. "Makanan apa gerangan yang disimpan Semut-semut itu dalam rumahnya yang sempit?" tanya hati Singa. Kemudian ia bertanya lagi kepada Semut-semut dengan penuh selidik, "Bolehkah kutahu makanan apa yang kausimpan di dalam rumahmu? Aku lapar sekali." Semut-semut semakin ketakutan mendengar pertanyaan Singa. Dicarilah akal agar Singa itu tak menghancurkan rumahnya. Lalu semut-semut itu pun berkata, "Boleh, tapi ada syaratnya?" Singa semakin tak sabar. "Ayo, cepat katakan apa syaratnya?" Semut-semut kemudian berbaris di luar lubang pohon dan berkata, "Izinkan kami naik di wajahmu, agar saat matamu mengintip ke lubang ini, kami bisa menunjukkan di mana kami menyimpan makanan kami." Tanpa berpikir panjang Singa pun menyetujui. Semut-semut itu lalu naik ke tubuh Singa serta berkerumun di sekitar wajah dan kepalanya. Setelah itu Singa mulai mengintip ke lubang pohon. Ketika ia membelalakkan matanya ke lubang, semut-semut telah berpencar ke seluruh tubuh singa. Sebagian mereka ada yang menggigit tubuhnya, dan ada pula yang masuk ke telinganya. Singa pun menjadi panik. Ia tak dapat melihat lubang pohon dengan jelas. Bahkan tubuhnya terasa sakit semua akibat gigitan semut. Singa pun mengamuk membabi buta. Ia berlompatan ke sana ke mari hingga akhirnya kecapekan dan roboh ke tanah. Melihat hal itu, hewan-hewan di hutan yang semula bersembunyi saling berdatangan. Mereka mengerumi tubuh singa yang telah menjadi bangkai. Mereka pun berterimakasih kepada semut-semut merah atas segala jasanya."
"Wah, ternyata kita nggak boleh meremehkan makhluk yang kecil ya!" kata Ferdi setelah Adri bercerita. "Ya, mereka hanya kecil tubuhnya, tetapi sebenarnya mereka banyak memberi kita pelajaran. Allah telah menciptakan semua itu, agar kita dapat mengambil hikmah darinya," jawab Adri.
"Oh ya, tadi kita kan mau mengulang pelajaran matematika? Aku belum paham dengan penjelasan pak guru di kelas tadi!" kata Deni mengingatkan tujuan semula mereka berkumpul di bawah pohon beringin itu. "Berulang kali aku telah mengerjakan soal matematika ini, tetapi belum juga aku bisa mengerjakannya. Uh, rasanya sudah jemu aku belajar matematika. Lebih baik untuk sementara kita lupakan saja matematika. Bermain kan lebih asyik. Apalagi mendengarkan cerita tentang semut-semut itu, " jawab Ferdi sambil menunjuk semut-semut merah. "Hei, bukan begitu Fer. Kalau kamu belum paham sebuah soal matematika, cobalah kita pecahkan bersama. Siapa tahu di antara kita bisa menjelaskan. Iya kan Den?" kata Adri. "Benar, kata Adri! Kita coba dulu kerjakan soal-soal ini. Kalau di antara kita tidak ada yang paham, besok kita tanyakan lagi ke pak guru. Gimana? Usul Deni membenarkan Adri. "Ah, bosan ah! Aku sudah putus asa!" kata Ferdi tetap pada pendiriannya.
"Hei, Fer! Coba perhatikan lagi semut-semut merah itu! Walau pun mereka kecil dan membutuhkan waktu yang lama untuk merayap sampai puncak pohon, tetapi mereka tidak pernah berputus asa. Mereka tetap melangkah sedikit demi sedikit hingga mencapai tujuannya. Lihatlah! Mereka tetap saja gembira dan bersalaman saat bertemu, walaupun perjalanan mereka amat melelahkan. Apakah kita tidak bisa mengambil pelajaran dari itu semua. Semut-semut yang kecil saja tidak pernah patah semangat, lalu kenapa kita yang diberi akal sempurna justru menjadi putus asa?" kata Adri kemudian.
Mendengar penjelasan kawannya itu, Ferdi pun tertunduk malu. "Iya. Benar juga kata-katamu, Dri. Aku jadi malu dengan semut-semut merah itu. Oke deh! Sekarang kita belajar matematika sampai kita bisa mengerjakannya. Aku nggak akan merasa bosan dan putus asa lagi," kata Ferdi penuh semangat. Ketiganya lalu mulai belajar di bawah pohon beringin yang rindang itu. Sesekali canda dan tawa terdengar di antara kepenatan mereka memahami soal-soal matematika. Mereka tidak pernah putus asa, hingga akhirnya semua soal dapat dikerjakannya dengan baik dan benar. Tak lupa mereka pun bersyukur kepada Allah, karena telah memberikan pelajaran yang amat berharga dari makhluk hidup yang kecil seperti semut-semut merah.

diposting oleh anggota gas cirebon