Minggu, Desember 28, 2008

mimpi si pemalas


mimpi si pemalas, adalah cerpen kedua dalam buku nyanyian pipit. selanjutnya, akan saya posting beberapa cerita pendek lain yang pernah diterbitkan. semoga bermanfaat







MIMPI SI PEMALAS
"Vira, ayo bangun Nak! Hari sudah siang. Ayo segera shalat Subuh! Tuh, ayam jantan udah berkokok. Masak kalah ama ayam!" Teriak Ibu membangunkan Vira. Yang dibangunin masih enak-enakan tidur sambil sesekali menarik selimut menutupi tubuhnya yang kedinginan. "Vira, ayo bangun Nak! Kalo nggak bangun, nanti telingamu dikencingi Setan lho!" suara Ibu semakin keras terdengar. Vira masih ogah-ogahan. Bahkan menutupi wajahnya dengan selimut. "Vira, bangun Nak!" Teriak Ibu jengkel. Ditariknya selimut Vira. "Ehmmmm, masih dingin, Bu! Vira malas!" jawab Vira seenaknya. "Ayo bangun! Apa mau Ibu siram pakai air!" Ancam Ibu sambil menarik tangan Vira. Kali ini Vira tak dapat mengelak. Dia paling takut bila disiram air, apalagi udara pagi sangat dingin mencekam. Mau tak mau akhirnya dia bangun juga. Disibaknya selimut dengan rasa malas. Lalu pergi ke kamar mandi, menggosok gigi, berwudhu, dan shalat subuh.
Selesai shalat Subuh, Vira kembali lagi ke kamar dan menghempaskan tubuhnya di bawah selimut. "Alangkah enaknya bila tidur lagi!" bisik hatinya menggoda. "Uuuuuuh, rasanya masih mengantuk. Biar aja Ibu marah-marah. Toh aku gak akan mendengar teriakannya, bila sudah tertidur!" bisik hatinya lagi. "Tapi, hei…bukankah aku mesti sekolah hari ini? Nanti kalau ayah udah pulang dari luar kota, pasti akan marah-marah bila tahu aku membolos gara-gara ketiduran!" berontak hatinya yang lain. "Ah, itu urusan nanti. Yang penting sekarang enakan tidur! Sekali-kali membolos gak masalah!" goda hatinya lagi. Akhirnya dia pun tertidur pulas. Beberapa kali suara Ibunya yang berusaha membangunkannya masih terdengar, namun lambat laun samar-samar dan bahkan tak terdengar sama sekali di telinga Vira.
Melihat kelakuan Vira, Ibunya tak mampu berbuat apa-apa lagi. Berulang-kali dia telah berusaha membangunkan dan menasehati putrinya itu, namun tak dihiraukan sama sekali. Dia pun sudah bosan melihat kemalasan Vira. Akhirnya dibiarkannya Vira tertidur.
Vira semakin pulas tertidur. Di bawah selimut tebalnya, dia merasa sangat nyaman dan hangat. Namun tiba-tiba dia dikejutkan oleh sebuah suara yang tertawa mengejeknya. "Hi…hi…hi…hi…!Vira, bangun! Hi…hi…hi…hi! Apa kamu tidak malu pada kami. Lihatlah kami saja sudah bangun dan mencari rezeki. Orang yang bangun siang itu susah rezekinya." Vira pun membuka mata dan mencari sumber suara. Ternyata semut-semut kecil telah berbaris rapi di meja belajarnya sambil berbondong-bondong mengangkut potongan-potongan roti jatah sarapannya pagi itu. Ibunya sengaja meletakkan roti itu di atas meja belajarnya. Sesaat Vira terhenyak melihat semut-semut itu. Ingin rasanya dia marah dan membunuh semut-semut yang telah menghabiskan rotinya. Namun selimut tebalnya seakan-akan mengikat erat kaki dan tangannya hingga dia tak mampu bergerak. Akhirnya dia pun terkulai dan tertidur lagi.
Beberapa saat kemudian Vira dikejutkan lagi oleh sebuah suara. "Vira, bangun! Vira Bangun! Apa yang kamu dapat dari tidurmu. Apa kamu sudah bosan ke sekolah dan belajar menuntut ilmu. Apa dengan tidurmu itu, kamu bisa mendapatkan rumah mewah seperti yang kami punya. Lihatlah, sepagi ini saja kami sudah bangun dan membuat rumah yang indah untuk anak-anak kami!" kata suara itu terngiang-ngiang di telinga Vira. Vira pun membuka matanya dan mencari sumber suara. Ternyata suara itu milik burung-burung yang sedang bertengger di atas pohon di samping jendela kamarnya. Dilihatnya burung-burung itu sedang tertawa-tawa mengejeknya sambil sesekali menunjukkan rumah barunya yang indah. Diamatinya sekali lagi rumah burung-burung itu. Ternyata burung-burung itu telah membangun rumah dari seragam sekolahnya. "Hei, Burung sialan! Kembalikan seragamku!" Teriak Vira geram. "Bukankah kamu sudah malas pergi ke sekolah dan tak memerlukan lagi seragammu?" jawab burung sambil tersenyum sinis. "Kembalikan seragamku. Kalau tidak kubunuh kalian!" teriak Vira sambil beranjak bangun dari tempat tidur. Namun lagi-lagi selimut tebalnya terasa mengikat dan menjerat kakinya erat-erat. Vira kembali terkulai lemas dan akhirnya tertidur lagi.
Sesaat kemudian, Vira dikejutkan lagi oleh sebuah suara. "Vira, bangun! Vira, bangun! Ayo kita bermain-main dan bersenang-senang. Bukankah kamu suka bermain bersama kami?" teriak suara itu. Vira pun membuka mata. Dilihatnya banyak tikus di bawah kolong tempat tidurnya. Tikus-tikus itu saling berkejaran sambil menggigit-gigit sepatu sekolah Vira dan mencabik-cabik buku-buku pelajarannya. "Ha..ha..ha..ha..ha!" Tikus-tikus itu tertawa sambil sesekali menarik-narik selimut di ujung kaki Vira. Vira menjerit-jerit ketakutan, namun tak seorang pun mendengar jeritannya. "Tolong! Toloooooooooong! Pergi kamu Tikus sialan. Kembalikan buku-buku dan sepatuku!" Teriak Vira sekuatnya. Tikus-tikus itu tidak jua pergi, bahkan mengerubuti Vira, seakan-akan ingin mengajaknya bermain. Vira semakin ketakutan. Dia berusaha bangkit, namun tubuhnya terasa berat. Selimut tebal yang menutupi tubuhnya semakin melilit kencang. Dia pun kembali terkulai lemas dan pingsan tak berdaya.
Vira masih tak sadarkan diri. Tiba-tiba terjadi hentakan keras seolah-olah gempa bumi. Kamar tidur pun terasa bergoyang-goyang. Vira terbangun kaget. Dia berusaha membuka mata lebar-lebar, namun kedua matanya terasa berat dan lengket. Dirasakannya ranjang tidur pun turut bergerak-gerak, bahkan bergeser dari tempatnya semula. "Apa yang telah terjadi? Kenapa ranjang ini bergerak sendiri?" tanyanya dalam hati. Vira menjadi takut. Ingin rasanya dia bangkit dan turun dari ranjang serta berlari sekuat tenaga. Namun dia pun tak berdaya, seakan-akan memang tubuhnya telah melekat kuat di atas kasur ranjangnya.
Vira terus berusaha bangkit, namun semua hanya sia-sia. Ranjang tidurnya terus bergeser, bahkan berjalan sendiri hingga keluar kamar dan melewati ruang tamu. Dilihatnya Ibunya sedang duduk di ruang tamu sambil menyulam baju. "Ibu, tolooong!" Teriak Vira sekuat tenaga. Namun Ibunya tak mendengar teriakan Vira. Dia masih saja asyik dengan sulamannya. "Ibu, tolooong Vira! Maafkan Vira, Bu!" Teriak Vira berkali-kali, hingga suaranya habis. Tenggorokannya terasa kering, namun Ibunya tetap saja tak bergerak untuk menolongnya. Ranjang tidur terus bergerak dan membawa Vira keluar rumah, hingga melewati jalan raya. Orang-orang pun memandang Vira keheranan. Sebagian mereka terbengong-bengong, dan sebagian yang lain tertawa-tawa mengejek. Vira sangat malu dengan mereka. Dia berusaha bangkit, namun tetap saja tidak berdaya. Ranjang tidur terus berjalan dan membawanya berkeliling kota. Kemudian saat melewati sekolah Vira, Ranjang tidur itu berhenti sejenak. Melihat kejadian aneh itu, para guru dan teman-teman sekolah Vira keluar dari kelas. Mereka melihat Vira yang sedang tergolek di ranjang tidur dengan selimut tebal dan baju serta rambut yang acak-acakan. "Ha…ha…ha…ha…ada ranjang tidur berjalan!" teriak teman-teman Vira sambil tertawa mengejek. "Lihatlah, anak-anak! Inilah contoh anak yang pemalas dan tidak mau bangun pagi! Ranjang tidurnya yang akan mengantarkannya ke sekolah! Karena itu jangan malas bangun pagi!" kata salah seorang guru. Mendengar kata-kata guru tersebut, Vira menangis karena malu. Dia ingin bangkit dari ranjang tidurnya dan mengakui kesalahannya. Namun lagi-lagi dia tak berdaya. Ranjang tidurnya kembali berjalan dan bahkan membawanya sampai ke sebuah hutan yang penuh dengan semak belukar. Ranjang terus berjalan tanpa perduli dan menabrak pohon-pohon lebat yang ada di depannya, bahkan semakin kencang dan kencang. Vira berteriak-teriak ketakutan. "Duuuuug…broooog, dum..dum!" Akhirnya Vira jatuh terlempar.
Kali ini Vira benar-benar terbangun dari tidurnya. Dia telah jatuh dari ranjang tidurnya. "Aduuuuuuuuuuh….!" Ucapnya kesakitan. Ibunya yang mendengar suara benda terjatuh segera menghampirinya. "Hu…hu…hu!" Tangis Vira dalam pelukan Ibunya. "Sudah…sudah! Ayo lekas bangun, mandi dan berbenah! Sekarang sudah jam 6.30. Nanti terlambat ke sekolah!" Kata Ibu menenangkan. "Tadi Vira mimpi yang sangat mengerikan. Hu…hu…hu…!" Tangis Vira semakin keras. "Makanya jangan suka tidur lagi sehabis shalat Subuh. Tidak baik bagi kesehatan!" Kata Ibu kembali menasehati. "Maafkan Vira, Bu! Selama ini Vira sudah tak menghiraukan nasehat Ibu untuk bangun lebih awal. Pokoknya mulai besok Vira nggak akan bangun siang lagi. Sehabis Subuh, Vira akan belajar lagi dan membantu Ibu!" Kata Vira berjanji. "Syukurlah, kalau begitu! Ibu senang mendengar semangatmu! Semoga kamu bisa melaksanakannya." Kata Ibu sambil tersenyum.
Hari-hari berikutnya Vira benar-benar telah mengubah kebiasaannya. Dia tak lagi malas dan ogah-ogahan bangun pagi. Melihat perubahan itu, ayah dan ibunya pun semakin sayang padanya.

diposting oleh anggota gas cirebon

Selasa, Desember 23, 2008

nyanyian pipit



pengantar:
berikut adalah cerita pendek yang ditulis oleh istri saya, nur saadah. cerpen ini ditulis saat aku dan istriku sedang menunggu kelahiran anak pertama, itu 4 tahun yang lalu. cerpen ini pernah diterbitkan oleh kalami indonesia. kabarnya pernah dicetak ulang. semoga bermanfaat.

NYANYIAN PIPIT
Cit…cit…cit, segerombol burung pipit bertengger di atas pohon. Lalu berlompat dari satu dahan ke dahan yang lain. Kicauan burung-burung itu menambah pagi yang cerah menjadi semakin sejuk. Seperti biasa, Aqila selalu terbangun saat mendengar nyanyian burung-burung itu, seolah memang Allah telah menciptakannya untuk membangunkan Aqila dari tidur lelapnya.
"Segala puji bagi-Mu, Ya Allah! Engkau telah membangunkanku kembali setelah menidurkanku. Engkaulah tempat kembali segala sesuatu," ucap Aqila lirih seraya terduduk di sisi tempat tidur. Dia pun segera membereskan tempat tidur, menata bantal dan guling serta melipat selimutnya. Kemudian beranjak ke kamar mandi untuk menyikat gigi dan berwudhu. Setelah itu, Aqila menuju mushalla dan salat Subuh berjamaah dengan ayah dan bundanya.
Usai salat Subuh, seperti biasa Aqila selalu belajar mengaji kepada ayahnya. Sehabis mengaji barulah dia membantu bundanya menyiapkan sarapan pagi. Selesai sarapan, dia pun mandi dan berkemas-kemas untuk berangkat ke sekolah. Tak lupa dia pun berpamitan dan mengucap salam kepada ayah dan bundanya saat hendak berangkat ke sekolah. "Pagi yang sangat indah!" bisik hatinya.
Sambil berlari-lari kecil, Aqila menuju ke sekolah. Dilihatnya burung-burung pipit masih bertengger di atas pohon sambil sesekali berlompatan kesana-kemari. Burung-burung itu seolah mengikuti langkah kecil Aqila menuju sekolah. Sesampai di sekolah sudah banyak teman-teman Aqila yang berdatangan. Mereka saling bercanda dan tertawa dengan riang. Salah seorang di antara mereka adalah teman akrab Aqila. Namanya Atika. "Hai, Qila! Baru datang ya. Kemarilah, aku punya sesuatu untukmu," teriak Atika sambil menunjukkan sebuah bungkusan. Iya Qila, kemarilah!" teriak teman-teman yang lain. "Apa itu?" Tanya Aqila terpana sambil menghampiri Atika. "Suatu kejutan untukmu!" jawab Atika masih merahasikan. "Apa ini? Boleh kubuka?" kata Aqila tak sabar. "Bukalah, tapi jangan terkejut!" Jawaban Atika semakin membuat Aqila penasaran. Dibukanya bungkusan itu dengan hati-hati. Debar di dada kian tak menentu. Apa gerangan yang diberikan Atika untuknya. "Hai, apa ini Tika?" Aqila semakin terpesona. Dilihatnya isi bungkusan itu dengan mata berbinar. Sekotak pensil warna yang sangat bagus. "Itu hadiah dari teman-teman untukmu! Selamat ya, kata pak guru, kamu terpilih untuk mewakili sekolah dalam lomba lukis nasional," jawab Atika gembira. "Benarkah?" Tanya Aqila tak percaya. "Benar, kan teman-teman?" Tanya Atika pada teman-teman yang lain. "Iya, Hidup Aqila…Hidup Aqila!" Teriak teman-teman membuat Aqila percaya. "Kalau memang benar, terimakasih atas dukungan kalian semua. Doakan Aqila ya!" Kata Aqila kemudian. "Horeeeeeeeeee, Hidup Aqila! Kami sangat mendukungmu!" jawab Atika disertai teriakan teman-teman. Seiring dengan teriakan-teriakan gembira mereka, bel sekolah pun berbunyi. Mereka pun segera memasuki kelas dengan tertib.
Hari itu Aqila sangat gembira. Dia pun mengikuti pelajaran dengan semangat. Semua pelajaran yang disampaikan oleh para guru telah meresap dan masuk di otaknya. Pelajaran-pelajaran itu seolah telah begitu melekat bagaikan ukiran di atas batu yang takkan terhapus oleh waktu.
Pulang sekolah, dia pun segera menuju rumah dengan gembira sambil bernyanyi-nyanyi kecil. Dilihatnya burung-burung pipit masih berlompat-lompatan dari satu pohon ke pohon lain yang berada di sepanjang jalan. Burung-burung itu seolah turut gembira. "Ayolah kita bernyanyi pipit! Hari ini aku sedang gembira. Pak Guru dan teman-teman telah mendukungku untuk mengikuti lomba lukis nasional. Betapa besarnya karunia Allah padaku! Tentu ayah dan bunda akan senang dan gembira mendengar kabar ini," teriak hati Aqila riang.
Sesampai di rumah, Aqila sudah tak sabar menyampaikan berita gembira itu kepada bundanya. "Assalamualaikum. Bunda…Bunda…Bunda…! Aqila udah pulang," teriakan Aqila membuat bundanya terkejut. "Waalaikumumussalam! Gimana di sekolah hari ini, Qila!" Tanya bunda. "Wah, yang pasti oke dong Bunda. Hari ini Qila dapat nilai sepuluh untuk pelajaran matematika. Trus…ada lagi kejutan buat Bunda. Tadi Pak Guru mengumumkan kalau Qila terpilih mewakili sekolah untuk mengikuti lomba lukis nasional. Teman-teman memberi hadiah sekotak pensil warna untuk Qila," kata Qila berapi-api penuh semangat.
"Syukur alhamdulillah…Sayang! Anak bunda memang oke. Bunda sangat bahagia mendengarnya. Pasti ayahmu nanti juga akan gembira mendengarnya. Sekarang ganti baju, dan segera makan ya!" kata bunda kemudian.
Aqila segera pergi ke kamar, menyimpan tas sekolahnya, dan ganti baju. Setelah itu, dia pun menuju meja makan dan menyantap masakan bunda dengan lahapnya.
Sore hari, saat ayahnya pulang kerja, Aqila telah menunggu di halaman rumah. "Assalamualaikum, Sayang!" sapa ayah ketika dilihatnya Aqila sedang menghampirinya. "Waalaikumussalam!" jawab Aqila tersenyum. "Ada apa nih, sepertinya anak ayah sedang menyimpan sesuatu," tanya Ayah sambil merangkul Aqila penuh sayang. "Emmm, ada kejutan untuk Ayah. Qila telah terpilih mewakili sekolah untuk mengikuti lomba lukis nasional," kata Aqila penuh semangat. "He…he, benarkah? Anak ayah memang hebat. Kapan itu Sayang?" kata Ayah bahagia. "Emm, dua minggu lagi, Yah! Nanti Ayah dan Bunda bisa mengantar Qila kan?" rajuk Qila manja. "Tentu dong, Sayang!" jawab Ayah membesarkan hati Qila.
Qila tak mampu lagi membendung kebahagiaannya. Hari itu terasa cepat dilaluinya. Matahari hampir saja terbenam. Senja pun begitu indah baginya. Dilihatnya pepohonan dari balik jendela kamar, dan burung-burung pipit pun tak kelihatan lagi, meskipun kicauannya masih samar terdengar. Rasanya lengkap sudah karunia yang telah Allah berikan padanya hari itu. Dia pun mengucap syukur alhamdulillah atas semuanya.
Dua minggu kemudian, saat perlombaan lukis tiba. Aqila telah bersiap-siap hendak berangkat. Peralatan melukis pun telah dipersiapkannya. Tekadnya untuk membuat lukisan yang indah dan mengharumkan nama sekolahnya telah bulat. Pagi itu dia pergi ke tempat perlombaan dengan di antar ayah, bunda dan pak guru serta doa dari teman-temannya.
Selama ini hanya satu yang membuat Aqila terkesan, ialah burung-burung pipit yang bertengger di atas pohon dan nyanyian-nyanyian burung itu yang selalu membangunkan tidurnya di pagi hari. Karena itu, dalam perlombaan nanti, dia ingin melukis burung-burung pipit yang bertengger di atas pohon dengan begitu indah.
Tetapi malang tak dapat ditolak. Manusia berencana namun Allah jualah yang menentukan. Pagi itu, saat hendak berangkat ke tempat perlombaan, mobil yang dikendarai Aqila mendapat musibah. Sebuah bus dengan kecepatan tinggi telah menabraknya dari arah yang berlawanan. Aqila pingsan tak sadarkan diri. Adapun ayah dan bundanya serta pak guru mengalami luka ringan. Begitu pula dengan beberapa penumpang bus. Mereka pun segera dilarikan ke rumah sakit. Syukurlah kecelakaan itu tidak menelan korban jiwa.
Setelah sadar dari pingsannya, Aqila menangis. Dia baru teringat, bahwa dia telah gagal mewakili sekolahnya untuk mengikuti lomba lukis. Dia pun telah gagal mewujudkan impiannya untuk mempersembahkan lukisan tentang burung-burung pipit yang disukainya itu. Aqila terus menangis, meskipun ayah, bunda dan pak guru telah menghiburnya. Begitu pula teman-teman yang menjenguknya. "Sudahlah Qila Sayang! Jangan menangis. Kita harus bersyukur, karena Allah masih menyelamatkan kita dari musibah kecelakaan itu. Lihatlah Pak Guru dan teman-teman juga masih menyayangimu. Besok kalau ada kesempatan lomba lagi, Qila pasti bisa ikut. Sudah ya, Sayang! Jangan menangis lagi!" Kata Bunda memberinya nasehat."Iya, Qila. Kami akan selalu menyayangi dan mendukungmu!" Kata Pak Guru sambil tersenyum. Mendengar semua itu, hati Qila agak tenang.
Hari demi hari berlalu, Aqila telah kembali masuk sekolah. Namun jika teringat dengan perlombaan lukis yang gagal diikutinya itu, dia pun menjadi murung dan lebih suka mengasingkan diri. Perasaan bersalah masih menghantuinya. Bila telah berada di rumah, dia hanya duduk termenung sambil memandang keluar melalui jendela kamar. Terkadang dia duduk di bangku panjang yang berada di bawah pohon sambil melukis burung-burung pipit yang saling berlompatan di antara dahan-dahan pohon.
Ketika bunda melihat Aqila masih saja bersedih, Bunda pun menghampirinya. Dilihatnya putri kesayangannya itu sedang melukis burung-burung pipit. "Lagi melukis burung pipit ya Sayang!" Tanya bunda penuh perhatian sambil membelai rambut putrinya. Aqila hanya diam tak menjawab. "Lho, kok diam sih. Kalau Bunda tanya, dijawab dong!" kata bunda lagi. "Iya, Bunda. Qila sedang melukis burung-burung pipit. Dulu Qila ingin ikutkan lukisan ini ke perlombaan, tapi…hu..hu..hu…!" tangis Qila tak terbendung lagi. Bunda memeluk Qila dengan penuh sayang. "Sudah Sayang! Jangan menangis dan bersedih lagi! Besok kalau ada lomba lagi, kita ikutkan lukisan ini ya Sayang. Pasti dapat juara. Sudah…sudah! Anak yang baik dan pintar gak akan menangis dan berputus asa. Lihat burung-burung pipit itu, Sayang! Meskipun mereka kecil dan umurnya pendek, tapi mereka selalu bernyanyi dan berkicau riang. Na…na…lihat itu Sayang! Burung-burung itu masih saja terbang dengan riang. Sedangkan kita manusia, Allah telah memberi kita umur yang panjang, tetapi kenapa kita selalu bersedih dan putus asa. Masak kita kalah dengan burung-burung pipit?" kata bunda dengan penuh kesabaran.
Aqila mulai mengerti apa yang dikatakan bundanya. "Iya…ya, Bunda!" kata Qila kemudian seraya menghapus air matanya. "Burung-burung saja pandai bersyukur, kenapa kita tidak ya, Bunda! Maafkan Qila ya, Bunda! Mulai besok Qila tidak akan bersedih dan putus asa lagi," lanjut Qila menyadari kesalahannya. "Nah, gitu dong, anak Bunda! Kita harus mensyukuri karunia yang telah Allah berikan apapun itu," jawab bunda sambil tersenyum.
Sejak peristiwa itu, Aqila tidak pernah lagi bersedih dan berputus asa. Nyanyian burung-burung pipit itu membuatnya sadar bahwa Allah telah memberinya banyak karunia dan anugerah. Beberapa bulan kemudian, saat diadakan perlombaan lukis lagi, Aqila mengikutinya dan melukis burung-burung pipit kesukaannya. Dia pun dapat meraih juara dan mengharumkan nama baik sekolahnya. Itu semua membuat Aqila semakin bersyukur dan mencintai lingkungan hidup.

diposting oleh anggota gas cirebon

Minggu, Desember 14, 2008

WHeRE arE YOU GAS foNDATIOn


SAYANG KAMU DIMANAAA? SAMA SIAAPAAA? NGAPAAIIIIN? Sebuah kalimat yg begitu mengelitik... sering kita jumpai di pinggir2 jalan, tak jarang kalimat itu muncul di milis G45,
kalimat iklan menggelitik tersebut sama menggelitiknya dengan apa yang kita rasakan tentang keberadaan G45 Fondation yg beberapa waktu lalu kita dengungkan pasca Reuni Aku lego pethuk kowe (bukan Kowe 'pethok' sprti kata rekan alik)

begitu rindunya kita akan sesuatu yg berguna
begitu rindunya kita akan sesuatu yg bermanfaat
haruskah GF mati prematur? hilang begitu saja, bagaikan semilir angin di puncak 'Gununge Wilis'?

mungkin Allah belum kasih IDE buat kita tentang apa yg seharusnya DIA ijinkan untuk kita perbuat, mungkin kita terlalu sibuk dengan kehidupan kita,
keluarga kita, pekerjaan kita, karir kita atau munkin telah begitu banyak hal baik yg telah kita kerjakan, telah begitu banyak amal yg kita perbuat, kita telah menghidupi anak yatim, memberi bea siswa anak terlantar, ALHAMDULILLAH YA ROBBI

mungkin itu hanya sebagian dari kita,
namun ada sebagian yg masih dalam taraf 'BELAJAR MENJADI BAIK' dimata ALLAH
(termasuk aku tentunya)

bolehlah 'aku' disebut provokator
(memang provokator >> mungkin sani berkomen setelah membaca ini)
mungkin ... sebenarnya aku salah satu orang yg penakut....
takut untuk berbuat lebih baik....
sehingga berusaha 'memprovokasi' teman2
coro menungsone golek konco'

Mbah kaji Darmo, Syeh Mbah Yo (pinjam kata2 wartawan)...
alik, kohsur yang kaya ide..
ET yang selalu simpel dan iklas...
kopok yg selalu Soro (istilah ET jenenge kon ganti HAPORASORO WILIS
dan tentunya saudaraku yang teramat kaya ide Adib 'ANTV' Ahsani..

Kapan..? Kapan...? Kapan....?
kita wujudkan kreasi GF?
aku teramat yakin... bila teman2 yg diluar Milis G45 juga akan antusias
dengan G45 FONDATION.

sekedar mengingatkan bagi aku pribadi....
zakat pendapatan kita/aku setiap tahun ...
mungkin......
bisa dikelola GF.....

Saudaraku......
tolong bila aku salah dalam menulis ini...
tolong koreksi....
tdk ada tendensi, maksut dan tujuan tertentu dari semua ini...
hanya "PERASAAN BANGGA AKU PUNYA SAUDARA2 SEPERTI KALIAN"
hanya itu tak lebih.....

G45 Kediri