Selasa, Desember 23, 2008

nyanyian pipit



pengantar:
berikut adalah cerita pendek yang ditulis oleh istri saya, nur saadah. cerpen ini ditulis saat aku dan istriku sedang menunggu kelahiran anak pertama, itu 4 tahun yang lalu. cerpen ini pernah diterbitkan oleh kalami indonesia. kabarnya pernah dicetak ulang. semoga bermanfaat.

NYANYIAN PIPIT
Cit…cit…cit, segerombol burung pipit bertengger di atas pohon. Lalu berlompat dari satu dahan ke dahan yang lain. Kicauan burung-burung itu menambah pagi yang cerah menjadi semakin sejuk. Seperti biasa, Aqila selalu terbangun saat mendengar nyanyian burung-burung itu, seolah memang Allah telah menciptakannya untuk membangunkan Aqila dari tidur lelapnya.
"Segala puji bagi-Mu, Ya Allah! Engkau telah membangunkanku kembali setelah menidurkanku. Engkaulah tempat kembali segala sesuatu," ucap Aqila lirih seraya terduduk di sisi tempat tidur. Dia pun segera membereskan tempat tidur, menata bantal dan guling serta melipat selimutnya. Kemudian beranjak ke kamar mandi untuk menyikat gigi dan berwudhu. Setelah itu, Aqila menuju mushalla dan salat Subuh berjamaah dengan ayah dan bundanya.
Usai salat Subuh, seperti biasa Aqila selalu belajar mengaji kepada ayahnya. Sehabis mengaji barulah dia membantu bundanya menyiapkan sarapan pagi. Selesai sarapan, dia pun mandi dan berkemas-kemas untuk berangkat ke sekolah. Tak lupa dia pun berpamitan dan mengucap salam kepada ayah dan bundanya saat hendak berangkat ke sekolah. "Pagi yang sangat indah!" bisik hatinya.
Sambil berlari-lari kecil, Aqila menuju ke sekolah. Dilihatnya burung-burung pipit masih bertengger di atas pohon sambil sesekali berlompatan kesana-kemari. Burung-burung itu seolah mengikuti langkah kecil Aqila menuju sekolah. Sesampai di sekolah sudah banyak teman-teman Aqila yang berdatangan. Mereka saling bercanda dan tertawa dengan riang. Salah seorang di antara mereka adalah teman akrab Aqila. Namanya Atika. "Hai, Qila! Baru datang ya. Kemarilah, aku punya sesuatu untukmu," teriak Atika sambil menunjukkan sebuah bungkusan. Iya Qila, kemarilah!" teriak teman-teman yang lain. "Apa itu?" Tanya Aqila terpana sambil menghampiri Atika. "Suatu kejutan untukmu!" jawab Atika masih merahasikan. "Apa ini? Boleh kubuka?" kata Aqila tak sabar. "Bukalah, tapi jangan terkejut!" Jawaban Atika semakin membuat Aqila penasaran. Dibukanya bungkusan itu dengan hati-hati. Debar di dada kian tak menentu. Apa gerangan yang diberikan Atika untuknya. "Hai, apa ini Tika?" Aqila semakin terpesona. Dilihatnya isi bungkusan itu dengan mata berbinar. Sekotak pensil warna yang sangat bagus. "Itu hadiah dari teman-teman untukmu! Selamat ya, kata pak guru, kamu terpilih untuk mewakili sekolah dalam lomba lukis nasional," jawab Atika gembira. "Benarkah?" Tanya Aqila tak percaya. "Benar, kan teman-teman?" Tanya Atika pada teman-teman yang lain. "Iya, Hidup Aqila…Hidup Aqila!" Teriak teman-teman membuat Aqila percaya. "Kalau memang benar, terimakasih atas dukungan kalian semua. Doakan Aqila ya!" Kata Aqila kemudian. "Horeeeeeeeeee, Hidup Aqila! Kami sangat mendukungmu!" jawab Atika disertai teriakan teman-teman. Seiring dengan teriakan-teriakan gembira mereka, bel sekolah pun berbunyi. Mereka pun segera memasuki kelas dengan tertib.
Hari itu Aqila sangat gembira. Dia pun mengikuti pelajaran dengan semangat. Semua pelajaran yang disampaikan oleh para guru telah meresap dan masuk di otaknya. Pelajaran-pelajaran itu seolah telah begitu melekat bagaikan ukiran di atas batu yang takkan terhapus oleh waktu.
Pulang sekolah, dia pun segera menuju rumah dengan gembira sambil bernyanyi-nyanyi kecil. Dilihatnya burung-burung pipit masih berlompat-lompatan dari satu pohon ke pohon lain yang berada di sepanjang jalan. Burung-burung itu seolah turut gembira. "Ayolah kita bernyanyi pipit! Hari ini aku sedang gembira. Pak Guru dan teman-teman telah mendukungku untuk mengikuti lomba lukis nasional. Betapa besarnya karunia Allah padaku! Tentu ayah dan bunda akan senang dan gembira mendengar kabar ini," teriak hati Aqila riang.
Sesampai di rumah, Aqila sudah tak sabar menyampaikan berita gembira itu kepada bundanya. "Assalamualaikum. Bunda…Bunda…Bunda…! Aqila udah pulang," teriakan Aqila membuat bundanya terkejut. "Waalaikumumussalam! Gimana di sekolah hari ini, Qila!" Tanya bunda. "Wah, yang pasti oke dong Bunda. Hari ini Qila dapat nilai sepuluh untuk pelajaran matematika. Trus…ada lagi kejutan buat Bunda. Tadi Pak Guru mengumumkan kalau Qila terpilih mewakili sekolah untuk mengikuti lomba lukis nasional. Teman-teman memberi hadiah sekotak pensil warna untuk Qila," kata Qila berapi-api penuh semangat.
"Syukur alhamdulillah…Sayang! Anak bunda memang oke. Bunda sangat bahagia mendengarnya. Pasti ayahmu nanti juga akan gembira mendengarnya. Sekarang ganti baju, dan segera makan ya!" kata bunda kemudian.
Aqila segera pergi ke kamar, menyimpan tas sekolahnya, dan ganti baju. Setelah itu, dia pun menuju meja makan dan menyantap masakan bunda dengan lahapnya.
Sore hari, saat ayahnya pulang kerja, Aqila telah menunggu di halaman rumah. "Assalamualaikum, Sayang!" sapa ayah ketika dilihatnya Aqila sedang menghampirinya. "Waalaikumussalam!" jawab Aqila tersenyum. "Ada apa nih, sepertinya anak ayah sedang menyimpan sesuatu," tanya Ayah sambil merangkul Aqila penuh sayang. "Emmm, ada kejutan untuk Ayah. Qila telah terpilih mewakili sekolah untuk mengikuti lomba lukis nasional," kata Aqila penuh semangat. "He…he, benarkah? Anak ayah memang hebat. Kapan itu Sayang?" kata Ayah bahagia. "Emm, dua minggu lagi, Yah! Nanti Ayah dan Bunda bisa mengantar Qila kan?" rajuk Qila manja. "Tentu dong, Sayang!" jawab Ayah membesarkan hati Qila.
Qila tak mampu lagi membendung kebahagiaannya. Hari itu terasa cepat dilaluinya. Matahari hampir saja terbenam. Senja pun begitu indah baginya. Dilihatnya pepohonan dari balik jendela kamar, dan burung-burung pipit pun tak kelihatan lagi, meskipun kicauannya masih samar terdengar. Rasanya lengkap sudah karunia yang telah Allah berikan padanya hari itu. Dia pun mengucap syukur alhamdulillah atas semuanya.
Dua minggu kemudian, saat perlombaan lukis tiba. Aqila telah bersiap-siap hendak berangkat. Peralatan melukis pun telah dipersiapkannya. Tekadnya untuk membuat lukisan yang indah dan mengharumkan nama sekolahnya telah bulat. Pagi itu dia pergi ke tempat perlombaan dengan di antar ayah, bunda dan pak guru serta doa dari teman-temannya.
Selama ini hanya satu yang membuat Aqila terkesan, ialah burung-burung pipit yang bertengger di atas pohon dan nyanyian-nyanyian burung itu yang selalu membangunkan tidurnya di pagi hari. Karena itu, dalam perlombaan nanti, dia ingin melukis burung-burung pipit yang bertengger di atas pohon dengan begitu indah.
Tetapi malang tak dapat ditolak. Manusia berencana namun Allah jualah yang menentukan. Pagi itu, saat hendak berangkat ke tempat perlombaan, mobil yang dikendarai Aqila mendapat musibah. Sebuah bus dengan kecepatan tinggi telah menabraknya dari arah yang berlawanan. Aqila pingsan tak sadarkan diri. Adapun ayah dan bundanya serta pak guru mengalami luka ringan. Begitu pula dengan beberapa penumpang bus. Mereka pun segera dilarikan ke rumah sakit. Syukurlah kecelakaan itu tidak menelan korban jiwa.
Setelah sadar dari pingsannya, Aqila menangis. Dia baru teringat, bahwa dia telah gagal mewakili sekolahnya untuk mengikuti lomba lukis. Dia pun telah gagal mewujudkan impiannya untuk mempersembahkan lukisan tentang burung-burung pipit yang disukainya itu. Aqila terus menangis, meskipun ayah, bunda dan pak guru telah menghiburnya. Begitu pula teman-teman yang menjenguknya. "Sudahlah Qila Sayang! Jangan menangis. Kita harus bersyukur, karena Allah masih menyelamatkan kita dari musibah kecelakaan itu. Lihatlah Pak Guru dan teman-teman juga masih menyayangimu. Besok kalau ada kesempatan lomba lagi, Qila pasti bisa ikut. Sudah ya, Sayang! Jangan menangis lagi!" Kata Bunda memberinya nasehat."Iya, Qila. Kami akan selalu menyayangi dan mendukungmu!" Kata Pak Guru sambil tersenyum. Mendengar semua itu, hati Qila agak tenang.
Hari demi hari berlalu, Aqila telah kembali masuk sekolah. Namun jika teringat dengan perlombaan lukis yang gagal diikutinya itu, dia pun menjadi murung dan lebih suka mengasingkan diri. Perasaan bersalah masih menghantuinya. Bila telah berada di rumah, dia hanya duduk termenung sambil memandang keluar melalui jendela kamar. Terkadang dia duduk di bangku panjang yang berada di bawah pohon sambil melukis burung-burung pipit yang saling berlompatan di antara dahan-dahan pohon.
Ketika bunda melihat Aqila masih saja bersedih, Bunda pun menghampirinya. Dilihatnya putri kesayangannya itu sedang melukis burung-burung pipit. "Lagi melukis burung pipit ya Sayang!" Tanya bunda penuh perhatian sambil membelai rambut putrinya. Aqila hanya diam tak menjawab. "Lho, kok diam sih. Kalau Bunda tanya, dijawab dong!" kata bunda lagi. "Iya, Bunda. Qila sedang melukis burung-burung pipit. Dulu Qila ingin ikutkan lukisan ini ke perlombaan, tapi…hu..hu..hu…!" tangis Qila tak terbendung lagi. Bunda memeluk Qila dengan penuh sayang. "Sudah Sayang! Jangan menangis dan bersedih lagi! Besok kalau ada lomba lagi, kita ikutkan lukisan ini ya Sayang. Pasti dapat juara. Sudah…sudah! Anak yang baik dan pintar gak akan menangis dan berputus asa. Lihat burung-burung pipit itu, Sayang! Meskipun mereka kecil dan umurnya pendek, tapi mereka selalu bernyanyi dan berkicau riang. Na…na…lihat itu Sayang! Burung-burung itu masih saja terbang dengan riang. Sedangkan kita manusia, Allah telah memberi kita umur yang panjang, tetapi kenapa kita selalu bersedih dan putus asa. Masak kita kalah dengan burung-burung pipit?" kata bunda dengan penuh kesabaran.
Aqila mulai mengerti apa yang dikatakan bundanya. "Iya…ya, Bunda!" kata Qila kemudian seraya menghapus air matanya. "Burung-burung saja pandai bersyukur, kenapa kita tidak ya, Bunda! Maafkan Qila ya, Bunda! Mulai besok Qila tidak akan bersedih dan putus asa lagi," lanjut Qila menyadari kesalahannya. "Nah, gitu dong, anak Bunda! Kita harus mensyukuri karunia yang telah Allah berikan apapun itu," jawab bunda sambil tersenyum.
Sejak peristiwa itu, Aqila tidak pernah lagi bersedih dan berputus asa. Nyanyian burung-burung pipit itu membuatnya sadar bahwa Allah telah memberinya banyak karunia dan anugerah. Beberapa bulan kemudian, saat diadakan perlombaan lukis lagi, Aqila mengikutinya dan melukis burung-burung pipit kesukaannya. Dia pun dapat meraih juara dan mengharumkan nama baik sekolahnya. Itu semua membuat Aqila semakin bersyukur dan mencintai lingkungan hidup.

diposting oleh anggota gas cirebon

Tidak ada komentar: